Riak air, Hujan, dan Dentingan waktu

Friday, June 7, 2013



Riak airnya makin terdengar jelas, tanda bahwa hujan telah menginjakkan kakinya di tanah ini.
Merasa terpanggil akan suara, akupun terbangun dan menuju jendela. Terlihat jelas air mulai mengalir dari luar jendela, membasahi segala yang ada disana. Rasanya damai, melihatnya mengalir di jendela membuat suatu pola yang terlukiskan adanya. Ingin rasanya aku bergabung disitu, membasahi diri dengan air bumi. Melepaskan penat dalam buaiannya dan mungkin sekedar menangis bersama awan diatas sana. Karena setidaknya, aku tidak menangis sendiri bila bergabung dengannya. Aku akan tertutupi atas airnya. Kali ini aku bukan menangis rindu pada hujanku. Aku rindu akan gadis itu. Gadis pujaanku, yang selalu aku kejar kala itu. Entah kenapa begitu, hujan ini buat aku ingat kembali masa itu. Masa dimana aku memperjuangkan rasa yang aku yakini ada untuknya. Rasa yang membuat aku melakukan segala daya dan usaha, sekedar untuk mengupayakan yang terbaik untuknya. Segala usaha kala itu aku lakukan hanya untuk bisa lalui hari dengannya. Walau hanya sedetik lamanya, aku akan jadi makhluk paling bahagia dari segala makhluk yang ada.
Denting waktu kian menyatu bersama suara riak air yang makin deras hadirnya, menyatukan segala rasa yang kupunya dulu bersama sebuah kenangan akan masa lalu. Kemudian hadir dalam diam semu ku sebuah bayang dibalik jendela hujanku. Terpampang nyata nampak sebuah wajah penuh goresan luka akan masa lalu. Wajah itu jelas seorang pria, dari sorotan matanya yang kian sendu dan sayu menjelaskan air mata tak pernah absen dari setiap kedipan matanya. Semakin kedalam melihat matanya, akan semakin jelas pahitnya kenangan, dimana seorang pria ditolak oleh gadisnya karena mengulangi kesalahan yang sama 3 kali. Seperti seekor keledai kesannya, jatuh kedalam lubang yang sama sampai 3 kali sebabnya. Dentingan waktu membuyarkan lamunanku mengenai kisah yang terus diputar selama aku menatap mata pria itu dibalik jendela hujanku. Satu riak air turun menyadarkanku, kalau pria dibalik jendela hujanku itu, aku. Bersama semua kenangan yang aku putar dahulu satu riak air pun turun lagi, dan tepat di bagian mata kali ini. Air itu turun meleleh menuju pipi dan terus menetes kebagian bawah lantai kamarku. Kali ini mataku yang sedang turun hujan, bergantian ditandai dahulu dengan berakhirnya hujan dibalik jendelaku. Dan hujan dari mataku resmi menginjakkan kakinya diubin kamarku.
Hujan itu dengan cepat berpindah kedalam sini, dan riaknya pun tanpa henti. Menegaskan kalau pria dibalik jendela itu memang aku, tetap bersama, beriringan dengan kenangan di masa lalu. Aku terus terpaku memandangi berakhirnya hujan diluar kamarku. Sambil memandangi jendelaku, melihat seberkas bayang pria yang penuh dengan keterbatasan terlihat semakin menghilang akibat ditelan senja yang beralih setelah hujan. Bayang pria itu makin kabur akibat pantulan senja yang ditimbulkan. Sampai akhirnya seluruhnya hilang, seluruh bayang pria itu hilang tegasku. Aku masih diam penuh sendu karena hujan didalam sini masih belum berakhir riaknya pikirku.
Mungkin kali ini aku hanya akan berdiam diri sambil ditemani suara riak air, hujan, dan dentingan waktu. Menunggu penuh harap dalam penantianku, akan berakhirnya hujan dari masa itu. Mungkin, sampai akhirnya pria itu kembali muncul dalam pantulan jendelaku, tapi didahuli kemunculan senja dahulu. Bukan hujan yang terlebih dahulu.