Kadang bicara tentang mimpi, kita suka lupa
dengan apa yang kita impikan sejak kecil dulu. Dengan lantangnya, kita tempo
dulu berkata penuh keyakinan kalo akan menjadi ini itu. Dimulai jadi; dokter,
pilot, atau bahkan presiden. Namun setelah beralih dewasa sedikit, idealisme
tentang mimpi itu perlahan runtuh akibat realita kalau mimpi tak bisa diraih
dengan semudah mengucapkan kata. Faktor sudah dewasa itu pula yang membuat beberapa impian
masa kecil jadi tak terhiraukan lagi, dan mulai mencari mimpi baru yang lebih
realistis. Dalam hal mimpi, aku teringat lagi soal mimpi dulu. Bukan untuk
menjadi penulis atau dokter yang terbesit kala itu. Hanya mimpi sederhana soal
begitu inginnya; melihat apa yang ada diujung pelangi.
Aku tinggal disebuah kota yang bernamakan
kota hujan. Jadi hampir musim apapun akan selalu turun hujan disini. Karena itu
pula, aku yang masih kecil kala itu selalu harus menunggu hujan selesai untuk
sekedar keluar main kala itu. Pernah hampir sepanjang hari aku menunggu dibalik
jendela kamarku yang dulu, untuk sekedar melihat hujan selesai membasahi bumi. Namun
hasilnya? Kadang ia tak pernah selesai dalam tempo sehari. Serius, untuk ukuran
anak kecil menunggu memang paling membosankan. Apalagi tidak menjamin kalau hujan
akan selesai sebelum petang menjelang.
Aku masih menunggu hujan selesai, hari itu
entah kenapa penuh sesal. Sepanjang hari aku memasang bibir bertekuk
pantulannya jelas terlihat dari kaca jendela yang ada didepanku. Melihat hal
itu ibuku datang dengan senyum lembut dari mulutnya, seakan tahu kalau aku
sedang kesal karena hujan kala itu dia mulai bercerita tentang suatu hal yang
terjadi selepas hujan. Ya, cerita tentang adanya kemunculan pelangi. Jujur saja
sedikitpun aku tak perduli tentang apa yang ada di langit selama aku bisa
bermain manja dibawah sini. Tapi cerita yang ia sampaikan kala itu entah kenapa
sangat menarik dan menyadarkan aku kalau hujan tak selalu berniat buruk
menggagalkan satu persatu rencanaku untuk bermain.
Beliau dengan senyum lembutnya, perlahan mulai menceritakan tentang asal mula pelangi. Menurut ceritanya, adanya pelangi berasal dari sebuah pot emas diujung dunia. Saking silaunya kilauan emas itu ia membuat pantulan degradasi
bermacam warna yang indah dan lengkungannya sampai terbiaskan diatas langit.
Namun ada satu syarat kemunculan warna itu, harus turun hujan dahulu. Dan
lengkungan itu beliau beri nama pelangi. Setelah mendengar cerita itu, jiwa
seorang anak kecil yang penasaranpun keluar. Hari itu aku bukan melihat kebawah
menandakan rintik air hujan selesai, tapi aku melihat keatas untuk memastikan
apakah benar yang ibu ceritakan kala itu.
Beruntungnya sebelum petang hujan pun selesai,
aku bergegas keluar sambil berlari kecil dan segera menggunakan sandal biru
usang kesayanganku. Aku beralih keluar dengan kepala mendongak keatas kala itu. Bunyi rintik hujan masih terdengar, menjelaskan sisa sisa hujan yang aku lalui
tanpa kesal sedikitpun. Maklum perhatianku yang awalnya menunggu hujan
teralihkan menjadi penasaran tentang pelangi. Tak lama mata kecil ini terdiam
dengan apa yang dilihatnya kala itu, tetap dengan kepala mendongak keatas
tentunya.
“Pelangi itu muncul!”
Perkataan ibu ternyata benar tentang
keindahannya, lengkungannya diatas sana benar – benar memanjakan mata. Dimulai
dari warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Indah yah
pelangi itu..
Teringat dengan cerita yang baru saja aku
dengar tenang pot emas, aku pun semakin penasaran dengan benar atau tidaknya
kalau pot emas itu yang menyebabkan warna seindah ini. Kaki ku mulai berlari
kecil, perlahan namun pasti tujuanku entah kenapa menuju ujung pelangi. Aku
terus berlari dan berlari lagi, sambil melihat keatas untuk memastikan aku tak
salah tempat tentunya. Sampai akhirnya kaki ini beralih semakin pelan dan
akhirnya berhenti karena mata tak ingin melihat hal yang enggan aku inginkan
terjadi. Ya, pelangi itu pergi.
Aku kembali kerumah dengan sedikit heran,
kenapa pelangi secepat itu pergi? Sepanjang malam aku memikirkannya, dan tak
pernah ketemu jawabannya. Mungkin pelangi pergi akibat sudah waktunya? Atau
mungkin aku harus berlari sedikit cepat lagi? Pertanyaan itu yang terus timbul,
aku yang kala itu masih kecil tak mau ambil pikir. Aku memutuskan untuk lebih
baik berusaha berlari sedikit lebih kencang lagi esok hari. Saat pelangi itu
muncul lagi.
....
Keesokannya tak ada hujan sama sekali,
sepanjang hari aku kecewa dalam harapan menunggu hujanku. Hah, baru kali ini
aku kesal saat tak ada hujan, padahal cuaca diluar begitu mendukung untuk
bermain menghabisi hari tapi entah kenapa tak dilakukannya oleh sepasang dua
kaki kecil ini. Setelah mengetahui hujan takkan turun lagi, aku yang kala itu
masih kecil lebih memilih untuk tidur siang berharap hujan turun walau hanya
sebentar.
Kemudian suara itu datang lagi…
Suara yang membangunkanku dari kegiatan
tidurku. Suara yang paling membuat bahagia, karena tahu suara apa yang ada
disana. Ya, benar dugaanku bahwa hujan sedang berlangsung diluaran sana. Aku
bangun, menyiapkan sandalku diteras agar bisa langsung berlari selepasnya
nanti. Kala itu aku menunggu didepan teras rumahku, agar dapat menghemat waktu
pikirku. Terus menerus aku melihat kearah langit, melihat air yang turun dari
atas sana. Saat itu entah kenapa langit nampak lebih dekat dan seakan bisa
digenggam walau hanya dengan ukuran tangan.
Tak lama
hujanpun reda, aku langsung mengenakan sendalku bersiap berlari sambil menunggu
aba – aba dari langit. Sambil terus mengecek keatas sana akhirnya aba – aba ku
tiba. Pelangi itu muncul lagi, tak sempat berpikir aku terus berlari, dan
berlari lagi. Setiap belokan komplek rumahku aku lewati agar dapat sampai
diujung pelangi. Ditengah kegiatanku yang penuh optimis itu, kembali lagi
kejadian yang enggan aku bayangkan terjadi.
Ya.. pelangi itu hilang lagi.
“Apa ada yang salah
dengan kemampuan berlariku? Padahal aku sudah berlari secepat yang aku bisa
untuk sampai disitu.”
Sambil diam terpaku akibat kepergian pelangi aku mengatakkan hal itu didalam
hati.
Hari itu aku kembali kerumah dengan penuh rasa
heran dalam diri. Entah kenapa secepat apapun aku berlari, pelangi tak pernah
bisa dikejar untuk ukuran badanku ini. Padahal tujuanku hanya untuk memastikan
benarkah cerita itu, bukan dengan tujuan untuk mengambil emas yang ada di pot
tersebut. Hari setelahnya aku lakukan seperti sebelumnya. Terus berlari
mengejar pelangi, untuk sekedar melihat pelangi itu hilang lagi.
Sampai akhirnya aku tiba di fase lelah dan
memutuskan untuk menggantungkan mimpiku kala itu. Aku menggantungkannya dengan
harapan saat dewasa nanti dengan ukuran badan yang lebih besar dari pada
sekarang tentunya, aku akan mengejar pelangi itu lagi dan menyelesaikan impian
masa kecilku itu.
Tapi rencana saat dulu tak berjalan mulus. Aku
yang sudah dewasa malah tersita oleh realita dunia. Bukannya tumbuh untuk
menyelesaikan impian itu, aku malah beralih membuat mimpi lain lagi. Mimpi yang
dibuat atas paksaan realita tanpa ada unsur untuk ditaklukan dari mimpi
seorang anak kecil yang dulu pernah menggantungkannya.
Sampai saat ini aku kembali sadar akan mimpi
itu, akibat secuil gambar kecilku yang aku temukan dibeberapa buku lamaku. Aku
menggambar tentang adanya sebuah pot diujung pelangi. Disebelah kanan gambarnya
ada aku yang sedang berlari, berusaha agar bisa sampai kesitu. Begitu pula
dengan beberapa gambar – gambar setelahnya walau dengan baju dengan warna yang
berbeda yang aku gunakkan digambar itu.
Aku tersenyum melihat gambar itu. Bukan
tersenyum menyadari mengingat betapa bodohnya aku yang dalam pengejaranku
mengejar pelangi. Tapi tersenyum mengingat bahwa pernah ada anak sekecil ini
yang bermimpi sebesar itu. Dengan optimisnya ia berlari bukan dengan tujuan untuk
mengambil emas didalam pot untuk memperkaya diri. Tapi tujuan untuk sampai
kesana dan memuaskan diri dalam hal mimpi. Mungkin kalau aku yang dulu
mengharapkan emas dalam pot itu aku akan menyiapkan karung karung dan aku bawa
lari bersamaku, tapi beruntungnya sama sekali tak dilakukannya.
Kenangan yang terangkat kembali ini menyadarkan
aku kalau anak kecil kadang bermimpi lebih besar dan berani dari orang dewasa
pada umumnya. Orang dewasa cenderung mengambil realita dan materi. Tapi anak
kecil lebih memilih untuk menyelesaikan mimpi dan memuaskan rasa penasaran yang
timbul dalam diri..
...dan kadang, aku
rindu jadi anak kecil lagi. Bermimpi, bermimpi, dan bermimpi lagi.
Saat ini langit tampak lebih jauh dibandingkan
kala itu. Aku yang dewasa dan bertambah tinggi seharusnya bisa menggapainya
lebih mudah untuk kali ini, tapi entah kenapa rasanya begitu jauh. Beda dengan
apa yang aku rasakan kala aku melihat langit saat kecil yang rasanya tak ada
batasan untuk menggengam langit kala itu. Masih sama denganku, sama tempatnya
diteras depan rumahku. Walau hanya satu berbeda, ya perihal mimpiku dan mimpi
versi kecilku yang sudah tak lagi sama.