Sudah.

Friday, January 3, 2014

            Kemarin hari anti klimaks ku. Hujan turun dan menyadarkan aku lagi, bahwa manusia hakikatnya hidup sendiri.

            Hari itu, aku disudahi atas segala perbuatanku, aku dihukum olehnya karena telah menyia – nyiakanmu dengan segala ocehanku. “Apa yang kau tanam, itu yang kau dapati.” Hal itu berlaku kali ini, terhadapku, yang sudah berkali – kali menyia – nyiakanmu.

            Pertengkaran kita, di hari – hari sebelumnya.. “Sudah terlalu banyak” katamu. “aku sudah tidak kuat, dan memendam terlalu lama.” Begitu juga aku, kalau boleh jujur. Kali ini, kita sepakat untuk menyudahi semua, atas pertengkaran yang telah terjadi, aku dihakimi karena dihantui rasa bersalahku yang menyebabkan semua ini terjadi.

            “Aku hanya rindu.” pembelaanku. 

Tak diterimanya, dia pun lantas berkata “Tidak bisa. Pokoknya sudah tidak bisa lagi”.
Sampai saatnya aku menyerah, dan mengiya-kan segala permohonannya. Kali ini kita benar – benar sudah selesai.

            Tak ada sedikitpun raut muka kecewa terpasang dari wajah yang sejak lama kucinta. Ya, memang tidak sepantasnya muncul raut itu. Lagipula, aku belum bertemu dengannya lagi, lalu bagaimana aku bisa melihat raut apa yang terpasang pada wajahnya? Entahlah biarkan aku bicara sesukaku kali ini.

Seperti yang kubilang tadi, tidak sepantasnya muncul raut itu. Karena aku yang sepenuhnya salah. Aku yang tak bisa menahan segala urusan waktu, dan memutuskan semuanya sekehendak ku.
Karena itu, pergilah..

 Aku iya-kan kemauanmu untuk menyudahi kita, yang notabenenya sudah tak ada lagi kita. Tak perlu kamu bebankan sendiri, aku yang akan menanggung semuanya sendiri. Kita yang berakhir ini, semuanya bukan salahmu. Aku yang membuat kita jauh, dan aku juga yang terlalu lemah dan cepat menyerah, hanya karena dihantam ombak yang namanya keadaan.

            Kalau begitu..

Maaf untuk beberapa hari sebelumnya, aku maklumi keputusanmu kali ini. dan semoga, kita masih bisa kembali seperti dulu; hari – hari dimana sebelum kita bertengkar pertama kali, maksudku.

Sudah #2


            Hai langit!” Kamu datang, rupanya bawa teman; hujan.

            Sudah lama aku tidak sadar akan keberadaannya. Hujan yang selama ini aku puja, sempat tersisihkan karena pikiranku tersita oleh sesuatu. Walaupun komponen itu tetap ada, tetap saja separuh pikiranku; untukmu.

            Aku sempat bersyukur, saat kita bertemu, hujan selalu hadir disela – sela kita. Mendinginkan tangan yang saling tak menghangatkan. Lambat laun, keadaan menghancurkan kita. Pertemuan semakin berjumlah jarang akibatnya. Kita dibuat jauh, dan tak punya waktu bersama.

            Entah ini salah siapa, aku tak bisa menyalahkan salah satu dari kita. Mau menyalahkan keadaan? Dia bisa apa? Dia hanya datang secara tak disengaja. Walau kadang ada keadaan yang disengaja, tapi hal itu tak termasuk hitungan. Lalu, mau menyalahkan tuhan? Aku bisa dikutuk olehnya. Sudah diberi karunia, masih mengeluh saja.

            Keadaan makin menjauhkan kita, aku yang terlalu cepat menyerah dan marah, semakin terhasut olehnya. Dan untuk semua itu, kamu yang jadi korbannya. Kali ini aku baru sadar, bahwa penyesalan memang datangnya belakangan.

            Penyesalanku begitu besar, sampai – sampai aku harus merelakanmu pergi dibawa keadaan itu. Tanpa bisa apa – apa, aku hanya meratapi dan meratapi lagi, hasil perbuatanku sendiri.

            Rasanya pahit juga, dipisahkan ketika sedang sayang – sayangnya. Bukan sayang yang berdasarkan pelukan, atau ciuman. Tapi yang dari hati, walau aku belum terlalu mengerti apa itu cinta sejati. 

Hah.. Tulisan ini makin dibiarkan malah makin memperlihatkan bahwa aku tua, yasudah, kali ini aku sudahi saja. Diawali dengan perkenalan, pacaran, lalu perpisahan, aku meminta maaf sebesar yang aku bisa, atas perbuatanku yang menjadikanmu korban kemarahanku. Dan aku harap masih akan ada ‘pengulangan’ setelah kamu diberikan waktu istirahat oleh tuhan.

Hujan Rintik


            Malam ini hujan rintik – rintik kali ini. Aku sedang melakukan giliran atau mungkin kegiatanku dalam menunggu. Sengaja aku biarkan untuk menunggu dibawah lampu kota, yang warnanya remang – remang romantis menurutku. 

Sepuluh menit.. Dua puluh menit.. Tiga puluh menit berlalu.. kita belum sampai pada titik temu. Tak pernah terpikirkan sekalipun, aku habiskan tiga puluh menitku untuk sekedar menunggu (dalam konteks sebenarnya). 

 Sampai pada akhirnya, entah di menit ke berapa titik temu mulai mempertemukan kita. Kamu datang dari arah belakang dan aku melihatnya. Sesegera aku siapkan segala yang terbaik, untuk melihat reaksimu kala itu. Aku memutuskan untuk menyimpanya di kantong jaket sebelah kiri ku, niatnya jika reaksinya sesuai dengan yang diharapkan, aku akan langsung memberikan. Tapi, perkiraanku selalu salah. Dia yang nampak biasa, malah bertanya “sedang apa disini?” sedikit tersenyum tak puas aku melanjutkan alasanku yang entah darimana datangnya, yang sama sekali tak punya titik sambung dengan tujuan awalku. Rencana awalku; bertemu-memberikan sesuatu-pulang bersama-melepas rindu berdua. Itu yang aku pikirkan untuk mengorbankan tiga puluh menitku. Tapi tak satupun rencana itu berjalan, mungkin hanya sampai di tahap bertemu pikirku. Bahkan sama sekali tak menyentuh alas dari rencana melepas rindu berdua, kamu terlanjur berkata “aku mau kerumah teman dulu.” Kata itu seperti ribuan ton beban yang langsung jatuh di pundakku, tak sedikitkah kamu ingin tahu? Kurasa tidak, kamu malah berlalu, dan meninggalkanku dibawah lampu kota malam itu.

Kurasa tak bisa menyalahkan kamu sepenuhnya, aku yang sok – sokan ingin memberi kejutan, malah terkejut akibat reaksimu kala itu. Terlalu biasa, sehingga aku tak bisa menebaknya. Kamu tak sepenuhnya salah, mungkin harus kubilang dulu sebelumnya bahwa aku ingin bertemu. Tapi apa daya? Setiap aku berkata begitu, entah kenapa banyak sekali faktor yang menghalangi. Selalu aku, yang mengucap ingin bertemu. Tak pernah aku dengar sekalipun kata itu keluar dari mulutmu. Apa sebegitu tak diharapkannya aku? 

Sekali lagi ini bukan salahmu, hanya aku yang tak diharapkan, datang pada waktu dan tempat yang salah. Untuk kesekian kali, dan bodohnya kulakukan berulang kali