Aku
mengerti saat salah dilakukan, maaf tak selalu mampir untuk memaklumi. Aku juga
mengerti saat salah dilakukan berulang kali, kesempatan yang lain untuk memulai
kembali tak selalu janji untuk datang hadir lagi. Tapi, bukankah Tuhan
mengajarkan makhluknya untuk saling memahami? Bukankah orang – orang bilang tak
ada manusia sempurna yang selalu baik kelakuannya?
Kali ini, salahku juga yang terlalu bermain
emosi. Perasaan yang aku punya terlalu besar, sehingga tak bisa ku bendung
lagi. Sulit untuk mengatakannya, aku hanya akan berusaha menggambarkannya
melalui analogi ku sendiri.
Orang –
orang bilang; kalau mencintai seseorang jangan dicintai terlalu besar. Karena
hanya akan menyebabkan perpisahan karena cinta itu sendiri. Ibarat kamu yang
begitu menyukai pantai, pasti tak akan lekang dari pasirnya bukan? Saat
memegang pasir itu yang kita ibaratkan. Saat memegang pasir, jangan dengan cara
mengambilnya bulat – bulat lalu mengepalkan tangan. Hanya serpihan kecil yang
akan di dapat. Tapi, buka dengan lebar tangan yang kamu punya, sendokkan pasir
didalam ruang yang kamu buat itu, maka pasir yang tetap disana akan sangat
banyak dibanding percobaan pertama.
Begitu juga yang terjadi saat mencintai
seseorang..
Aku belajar dari cerita pasir ini. Aku juga banyak belajar dari
hubunganku dengan gadis yang satu itu. Aku terlalu mencintai, dan mengenggammu
terlalu erat. Bahkan untuk sekedar memberimu ruang untuk bernafas pun tak aku
lakukan.
Harusnya aku tak pernah termakan rasa, karena saat
berlebihan, bukan jaminan untuk kita bisa mengontrolnya. Tapi, kalau tidak
menggunakkan rasa, bagaimana kamu meng-iyakan kalau itu cinta?
Lalu,
menurut kalian yang mana yang benar? Mencintai dengan rasa, atau membiarkannya
tanpa tau kejelasan; itu cinta atau apa?
0 comments:
Post a Comment