Cerita di ujung Pelangi

Tuesday, December 10, 2013


Kadang bicara tentang mimpi, kita suka lupa dengan apa yang kita impikan sejak kecil dulu. Dengan lantangnya, kita tempo dulu berkata penuh keyakinan kalo akan menjadi ini itu. Dimulai jadi; dokter, pilot, atau bahkan presiden. Namun setelah beralih dewasa sedikit, idealisme tentang mimpi itu perlahan runtuh akibat realita kalau mimpi tak bisa diraih dengan semudah mengucapkan kata. Faktor sudah dewasa itu pula yang membuat beberapa impian masa kecil jadi tak terhiraukan lagi, dan mulai mencari mimpi baru yang lebih realistis. Dalam hal mimpi, aku teringat lagi soal mimpi dulu. Bukan untuk menjadi penulis atau dokter yang terbesit kala itu. Hanya mimpi sederhana soal begitu inginnya; melihat apa yang ada diujung pelangi.

Aku tinggal disebuah kota yang bernamakan kota hujan. Jadi hampir musim apapun akan selalu turun hujan disini. Karena itu pula, aku yang masih kecil kala itu selalu harus menunggu hujan selesai untuk sekedar keluar main kala itu. Pernah hampir sepanjang hari aku menunggu dibalik jendela kamarku yang dulu, untuk sekedar melihat hujan selesai membasahi bumi. Namun hasilnya? Kadang ia tak pernah selesai dalam tempo sehari. Serius, untuk ukuran anak kecil menunggu memang paling membosankan. Apalagi tidak menjamin kalau hujan akan selesai sebelum petang menjelang.

Aku masih menunggu hujan selesai, hari itu entah kenapa penuh sesal. Sepanjang hari aku memasang bibir bertekuk pantulannya jelas terlihat dari kaca jendela yang ada didepanku. Melihat hal itu ibuku datang dengan senyum lembut dari mulutnya, seakan tahu kalau aku sedang kesal karena hujan kala itu dia mulai bercerita tentang suatu hal yang terjadi selepas hujan. Ya, cerita tentang adanya kemunculan pelangi. Jujur saja sedikitpun aku tak perduli tentang apa yang ada di langit selama aku bisa bermain manja dibawah sini. Tapi cerita yang ia sampaikan kala itu entah kenapa sangat menarik dan menyadarkan aku kalau hujan tak selalu berniat buruk menggagalkan satu persatu rencanaku untuk bermain.

Beliau dengan senyum lembutnya, perlahan mulai menceritakan tentang asal mula pelangi. Menurut ceritanya, adanya pelangi berasal dari sebuah pot emas diujung dunia. Saking silaunya kilauan emas itu ia membuat pantulan degradasi bermacam warna yang indah dan lengkungannya sampai terbiaskan diatas langit. Namun ada satu syarat kemunculan warna itu, harus turun hujan dahulu. Dan lengkungan itu beliau beri nama pelangi. Setelah mendengar cerita itu, jiwa seorang anak kecil yang penasaranpun keluar. Hari itu aku bukan melihat kebawah menandakan rintik air hujan selesai, tapi aku melihat keatas untuk memastikan apakah benar yang ibu ceritakan kala itu.

Beruntungnya sebelum petang hujan pun selesai, aku bergegas keluar sambil berlari kecil dan segera menggunakan sandal biru usang kesayanganku. Aku beralih keluar dengan kepala mendongak keatas kala itu. Bunyi rintik hujan masih terdengar, menjelaskan sisa sisa hujan yang aku lalui tanpa kesal sedikitpun. Maklum perhatianku yang awalnya menunggu hujan teralihkan menjadi penasaran tentang pelangi. Tak lama mata kecil ini terdiam dengan apa yang dilihatnya kala itu, tetap dengan kepala mendongak keatas tentunya.

“Pelangi itu muncul!”

Perkataan ibu ternyata benar tentang keindahannya, lengkungannya diatas sana benar – benar memanjakan mata. Dimulai dari warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Indah yah pelangi itu..

Teringat dengan cerita yang baru saja aku dengar tenang pot emas, aku pun semakin penasaran dengan benar atau tidaknya kalau pot emas itu yang menyebabkan warna seindah ini. Kaki ku mulai berlari kecil, perlahan namun pasti tujuanku entah kenapa menuju ujung pelangi. Aku terus berlari dan berlari lagi, sambil melihat keatas untuk memastikan aku tak salah tempat tentunya. Sampai akhirnya kaki ini beralih semakin pelan dan akhirnya berhenti karena mata tak ingin melihat hal yang enggan aku inginkan terjadi. Ya, pelangi itu pergi.

Aku kembali kerumah dengan sedikit heran, kenapa pelangi secepat itu pergi? Sepanjang malam aku memikirkannya, dan tak pernah ketemu jawabannya. Mungkin pelangi pergi akibat sudah waktunya? Atau mungkin aku harus berlari sedikit cepat lagi? Pertanyaan itu yang terus timbul, aku yang kala itu masih kecil tak mau ambil pikir. Aku memutuskan untuk lebih baik berusaha berlari sedikit lebih kencang lagi esok hari. Saat pelangi itu muncul lagi.

....

Keesokannya tak ada hujan sama sekali, sepanjang hari aku kecewa dalam harapan menunggu hujanku. Hah, baru kali ini aku kesal saat tak ada hujan, padahal cuaca diluar begitu mendukung untuk bermain menghabisi hari tapi entah kenapa tak dilakukannya oleh sepasang dua kaki kecil ini. Setelah mengetahui hujan takkan turun lagi, aku yang kala itu masih kecil lebih memilih untuk tidur siang berharap hujan turun walau hanya sebentar.

Kemudian suara itu datang lagi…

Suara yang membangunkanku dari kegiatan tidurku. Suara yang paling membuat bahagia, karena tahu suara apa yang ada disana. Ya, benar dugaanku bahwa hujan sedang berlangsung diluaran sana. Aku bangun, menyiapkan sandalku diteras agar bisa langsung berlari selepasnya nanti. Kala itu aku menunggu didepan teras rumahku, agar dapat menghemat waktu pikirku. Terus menerus aku melihat kearah langit, melihat air yang turun dari atas sana. Saat itu entah kenapa langit nampak lebih dekat dan seakan bisa digenggam walau hanya dengan ukuran tangan.

 Tak lama hujanpun reda, aku langsung mengenakan sendalku bersiap berlari sambil menunggu aba – aba dari langit. Sambil terus mengecek keatas sana akhirnya aba – aba ku tiba. Pelangi itu muncul lagi, tak sempat berpikir aku terus berlari, dan berlari lagi. Setiap belokan komplek rumahku aku lewati agar dapat sampai diujung pelangi. Ditengah kegiatanku yang penuh optimis itu, kembali lagi kejadian yang enggan aku bayangkan terjadi. Ya.. pelangi itu hilang lagi.

“Apa ada yang salah dengan kemampuan berlariku? Padahal aku sudah berlari secepat yang aku bisa untuk sampai disitu.” Sambil diam terpaku akibat kepergian pelangi aku mengatakkan hal itu didalam hati.

Hari itu aku kembali kerumah dengan penuh rasa heran dalam diri. Entah kenapa secepat apapun aku berlari, pelangi tak pernah bisa dikejar untuk ukuran badanku ini. Padahal tujuanku hanya untuk memastikan benarkah cerita itu, bukan dengan tujuan untuk mengambil emas yang ada di pot tersebut. Hari setelahnya aku lakukan seperti sebelumnya. Terus berlari mengejar pelangi, untuk sekedar melihat pelangi itu hilang lagi.

Sampai akhirnya aku tiba di fase lelah dan memutuskan untuk menggantungkan mimpiku kala itu. Aku menggantungkannya dengan harapan saat dewasa nanti dengan ukuran badan yang lebih besar dari pada sekarang tentunya, aku akan mengejar pelangi itu lagi dan menyelesaikan impian masa kecilku itu.

Tapi rencana saat dulu tak berjalan mulus. Aku yang sudah dewasa malah tersita oleh realita dunia. Bukannya tumbuh untuk menyelesaikan impian itu, aku malah beralih membuat mimpi lain lagi. Mimpi yang dibuat atas paksaan realita tanpa ada unsur untuk ditaklukan dari mimpi seorang anak kecil yang dulu pernah menggantungkannya.

Sampai saat ini aku kembali sadar akan mimpi itu, akibat secuil gambar kecilku yang aku temukan dibeberapa buku lamaku. Aku menggambar tentang adanya sebuah pot diujung pelangi. Disebelah kanan gambarnya ada aku yang sedang berlari, berusaha agar bisa sampai kesitu. Begitu pula dengan beberapa gambar – gambar setelahnya walau dengan baju dengan warna yang berbeda yang aku gunakkan digambar itu.
Aku tersenyum melihat gambar itu. Bukan tersenyum menyadari mengingat betapa bodohnya aku yang dalam pengejaranku mengejar pelangi. Tapi tersenyum mengingat bahwa pernah ada anak sekecil ini yang bermimpi sebesar itu. Dengan optimisnya ia berlari bukan dengan tujuan untuk mengambil emas didalam pot untuk memperkaya diri. Tapi tujuan untuk sampai kesana dan memuaskan diri dalam hal mimpi. Mungkin kalau aku yang dulu mengharapkan emas dalam pot itu aku akan menyiapkan karung karung dan aku bawa lari bersamaku, tapi beruntungnya sama sekali tak dilakukannya.

Kenangan yang terangkat kembali ini menyadarkan aku kalau anak kecil kadang bermimpi lebih besar dan berani dari orang dewasa pada umumnya. Orang dewasa cenderung mengambil realita dan materi. Tapi anak kecil lebih memilih untuk menyelesaikan mimpi dan memuaskan rasa penasaran yang timbul dalam diri..
...dan kadang, aku rindu jadi anak kecil lagi. Bermimpi, bermimpi, dan bermimpi lagi.

Saat ini langit tampak lebih jauh dibandingkan kala itu. Aku yang dewasa dan bertambah tinggi seharusnya bisa menggapainya lebih mudah untuk kali ini, tapi entah kenapa rasanya begitu jauh. Beda dengan apa yang aku rasakan kala aku melihat langit saat kecil yang rasanya tak ada batasan untuk menggengam langit kala itu. Masih sama denganku, sama tempatnya diteras depan rumahku. Walau hanya satu berbeda, ya perihal mimpiku dan mimpi versi kecilku yang sudah tak lagi sama. 

hai

Wednesday, September 11, 2013

hai

Riak air, Hujan, dan Dentingan waktu

Friday, June 7, 2013



Riak airnya makin terdengar jelas, tanda bahwa hujan telah menginjakkan kakinya di tanah ini.
Merasa terpanggil akan suara, akupun terbangun dan menuju jendela. Terlihat jelas air mulai mengalir dari luar jendela, membasahi segala yang ada disana. Rasanya damai, melihatnya mengalir di jendela membuat suatu pola yang terlukiskan adanya. Ingin rasanya aku bergabung disitu, membasahi diri dengan air bumi. Melepaskan penat dalam buaiannya dan mungkin sekedar menangis bersama awan diatas sana. Karena setidaknya, aku tidak menangis sendiri bila bergabung dengannya. Aku akan tertutupi atas airnya. Kali ini aku bukan menangis rindu pada hujanku. Aku rindu akan gadis itu. Gadis pujaanku, yang selalu aku kejar kala itu. Entah kenapa begitu, hujan ini buat aku ingat kembali masa itu. Masa dimana aku memperjuangkan rasa yang aku yakini ada untuknya. Rasa yang membuat aku melakukan segala daya dan usaha, sekedar untuk mengupayakan yang terbaik untuknya. Segala usaha kala itu aku lakukan hanya untuk bisa lalui hari dengannya. Walau hanya sedetik lamanya, aku akan jadi makhluk paling bahagia dari segala makhluk yang ada.
Denting waktu kian menyatu bersama suara riak air yang makin deras hadirnya, menyatukan segala rasa yang kupunya dulu bersama sebuah kenangan akan masa lalu. Kemudian hadir dalam diam semu ku sebuah bayang dibalik jendela hujanku. Terpampang nyata nampak sebuah wajah penuh goresan luka akan masa lalu. Wajah itu jelas seorang pria, dari sorotan matanya yang kian sendu dan sayu menjelaskan air mata tak pernah absen dari setiap kedipan matanya. Semakin kedalam melihat matanya, akan semakin jelas pahitnya kenangan, dimana seorang pria ditolak oleh gadisnya karena mengulangi kesalahan yang sama 3 kali. Seperti seekor keledai kesannya, jatuh kedalam lubang yang sama sampai 3 kali sebabnya. Dentingan waktu membuyarkan lamunanku mengenai kisah yang terus diputar selama aku menatap mata pria itu dibalik jendela hujanku. Satu riak air turun menyadarkanku, kalau pria dibalik jendela hujanku itu, aku. Bersama semua kenangan yang aku putar dahulu satu riak air pun turun lagi, dan tepat di bagian mata kali ini. Air itu turun meleleh menuju pipi dan terus menetes kebagian bawah lantai kamarku. Kali ini mataku yang sedang turun hujan, bergantian ditandai dahulu dengan berakhirnya hujan dibalik jendelaku. Dan hujan dari mataku resmi menginjakkan kakinya diubin kamarku.
Hujan itu dengan cepat berpindah kedalam sini, dan riaknya pun tanpa henti. Menegaskan kalau pria dibalik jendela itu memang aku, tetap bersama, beriringan dengan kenangan di masa lalu. Aku terus terpaku memandangi berakhirnya hujan diluar kamarku. Sambil memandangi jendelaku, melihat seberkas bayang pria yang penuh dengan keterbatasan terlihat semakin menghilang akibat ditelan senja yang beralih setelah hujan. Bayang pria itu makin kabur akibat pantulan senja yang ditimbulkan. Sampai akhirnya seluruhnya hilang, seluruh bayang pria itu hilang tegasku. Aku masih diam penuh sendu karena hujan didalam sini masih belum berakhir riaknya pikirku.
Mungkin kali ini aku hanya akan berdiam diri sambil ditemani suara riak air, hujan, dan dentingan waktu. Menunggu penuh harap dalam penantianku, akan berakhirnya hujan dari masa itu. Mungkin, sampai akhirnya pria itu kembali muncul dalam pantulan jendelaku, tapi didahuli kemunculan senja dahulu. Bukan hujan yang terlebih dahulu.

Kenangan dalam kotak diujung ruanganku

Thursday, May 23, 2013


Pagi ini aku kembali buka lembar lalu. Yang dulu pernah aku simpan rapi di sebuah kotak ujung ruanganku. Tanganku kembali membuka kotak itu, tanpa perintahku. Mungkin hati yang memerintahkannya, aku enggan menanyakan kenapa kedua tanganku membukanya. Lakban dan tutup kardus itu pun sudah terbuka dari segala yang menghalanginya. Mataku tertuju pada sebuah cd tua yang entah apa isinya. Merasa tertarik, tanganku segera memutar cd itu, dan seketika aku dibuat tersenyum melihat isinya. Isinya adalah saat dimana aku berjuang demi seorang gadis yang aku sayang yang tak pernah akan aku dapatkan. Disitu, aku berjuang membuat sebuah film pendek tentang ulang tahunnya. Setiap detik filmnya kenangan yang lalu kian muncul dalam benak diri, satu per satu menunjukkan kalau kenangan itu nyata adanya. Aku ingat, seberapa besar usahaku untuk mengumpulkan materi dalam film itu. Aku juga ingat seberapa giatnya aku mengerjakan itu. Sekedar sebagai hadiah ulang tahunnya yang sangat telat saat ku berikan karena tuntutan waktu. Kenangan itu terus muncul, bahkan saat kita pertama bertemu pun diputarkannya kembali. Aku ingat saat awal kelas 1 SMA kita berjalan bersama untuk pertama dan terakhir kalinya, kesebuah tempat perbelanjaan sepulang sekolah. Aku ingat setiap pokok dari pembicaraan kita saat itu, itu masa paling indah buatku. Seketika itu muncul air dari mata ini, mengingat sesuatu yang penting yang pernah aku lupakan saat itu. Janjiku. Aku lupa akan janjiku perihal menunggu kamu. Bahkan untuk 2,5 tahun atau sampai kapanpun itu. Aku terlanjur melanggar janjiku. Aku terlalu dibuai waktu kala itu yang menjanjikan kepulanganmu ke hati ini. Aku sudah gagal dalam mengejarmu. Karena itu aku tutup kenangan tentang kamu dalam kotak ujung ruanganku, agar itu jadi saksi bisu kalau aku pernah berusaha untuk bersama dia. Gadis yang aku sukai satu-satunya sampai 2,5 tahun lamanya.

Tangan ini mulai menghentikkan cd itu berputar untuk memunculkan kenangan itu, sebelum terlambat dan mata ini kian mengeluarkan airnya, sebelum semakin sakit hatinya karena terus menerus melihat adegan perputaran kenangan itu didepan matanya. Lekas dia mengeluarkan cd dari pemutar cdnya, dan mengembalikannya kedalam kotak tua itu. Ia menutupnya perlahan, berusaha menjaga semuanya seperti sedia kala, tanpa ada yang rusak atau tergores sedikitpun keadaannya. Setelah tertutup rapih, ia mengembalikannya ke ujung ruangan tempat sebelumnya kotak itu berada dan menaruhnya disana. Sambil tersenyum melihat kotak itu, bibir ini mulai berkata “Aku masih sayang kamu” disela air mata yang turun namun mulai perlahan frekuensinya ia berusaha tersenyum simpul dalam keadaan kala itu. Tapi tangan enggan membiarkan ia bersedih akan kenangannya, ia menyeka air mata yang keluar dengan tangannya. Seolah tampak tegar selepas tangisan, sepatah kata mulai muncul lagi dari bibir ini “Aku harus pergi, terima kasih” ia berkata demikian, dan bergegas meninggalkan kotak itu sendiri menutup kenangan kala itu.

Tersadar atas kepergiannya, ia sadar bahwa ini tidak benar. Menangisi yang tidak pantas untuk dirinya itu kesalahan terbesar. Sebab, kala itu hanya dia yang berusaha untuk bersama gadisnya. Namun tidak sebaliknya. Cinta takkan pernah berhasil kalau hanya satu pihak yang usaha. Dua pihak harus saling usaha untuk terus bersama atau agar dapat bersama. Itu yang membuat dia sadar bahwa memang sudah waktunya untuk pergi meninggalkan gadisnya. Walau masih berharap akan kembalinya gadis itu dalam peluknya, dia enggan berharap banyak untuk itu. Sebab masih akan banyak waktu untuk mengisi hari – hari kedepannya.

Dan biarlah kotak itu terus tersimpan di tempatnya, mungkin sesekali akan aku lihat kembali. Untuk sekedar memuaskan dahaga rindu akan kamu. Suatu saat aku janji akan buka kotak itu kembali, dan mungkin kala itu aku bisa dengan kamu? Siapa tahu:))

Orang baru

Ada saat dimana dia bahagia, yang buat aku makin cinta.

Ada saat dimana  dia tertawa, yang buat aku ikut tersenyum simpul melihatnya.

Ada saat dimana dia menari, yang buat aku ikut tenggelam dalam tariannya.

Ada saat dimana dia tersenyum, yang buat aku jadi pencandunya.

Dan ada saat dimana dia bersedih, yang buat aku semakin enggan melepaskannya sekedar untuk melihat senyumnya kembali diujung pipinya.

Tulisan ini aku buat untuk dia, yang sudah jadi alasan aku suka senyum kembali. Kamu yang dulu aku tunggu, walau tanpa tahu siapa kamu dahulu. Iya, kamu yang aku tunggu dahulu untuk duduk dibangku malamku. Akhirnya, resmi datang bersama kilauan fajar dipagi hari. Sekedar menegaskan datangnya kamu bersama mentari pagi. Aku mulai suka suasana saat itu. Moment itu sudah jadi favorite ku saat ini yang sudah ada teman untuk menemani. Dia yang akan selalu ada saat aku melihat pagi, dan dia pula yang akan selalu ada saat aku mengakhiri senja ini. Yang jelas, tulisan kali ini menjelaskan aku tak sendiri, bahwa sudah ada dia yang menemani , sebagai penawar rindu hati.

Pagi ini sudah jadi hari kebangkitanku akan malam lalu. Ia yang dahulu pergi meninggalkan aku sendiri duduk dibangku malamku, sudah resmi hilang dalam kenangan atas nama rinduku. Aku mengerti akan datangnya seorang kamu untuk duduk kembali dibangku itu. Dan benar saja, pagi ini ada yang mampir dibangku itu. Sesuai janji, aku akan mengupayakan agar ia nyaman duduk disana, dan singkat cerita aku berhasil membuatnya nyaman disana. Hari demi hari sudah aku lalui bersamanya, lewati segala macam jenis hari dan suasana saat duduk dengannya, aku mulai terbiasa menikmati segala macam dunia dengannya. 

Kali ini aku sedang menikmati pagiku, ditemani embun daun dan lembutnya udara mentari. Masih ditempat yang sama, di terasku. Tapi kali ini dengan orang yang berbeda, dan kenangan yang mulai dirajut bersama. Lalui setiap pagi didepanku, bersama orang baru itu.

Awal pagi


Halo matahari, setelah melewati malam penuh sajak yang aku lalui hari lalu, pagi ini aku datang dengan cerita baru. Cerita, bahwa aku sudah temukan seseorang yang baru.. seseorang yang hendak duduk dibangku itu.
Jujur aku mati kutu soal cerita kali ini, stok kata milikku sedang habis dibuatnya. Karena dia salah satu orang yang juga gemar akan kata. Setiap kali bersama, dia dengan celotehan kecilnya terus menerus mengeluarkan kata yang dulu pernah aku jaga dan aku puja. Dia dengan mudahnya mengatakan segala katanya. Buat aku yang jadi penyuka kata, itu kurang rumlah, karena biasanya aku lebih menghargai makna katanya dibanding jumlah katanya. Tapi, entah kenapa dia buat itu jadi lebih indah. Jauh lebih indah dibanding dengan yang aku lakukan sebelumnya. Tiap untaian suara yang menyebutkan ucapannya, setiap itu juga mengalir dengan indah katanya. Kali ini, aku jatuh cinta dengan prosesnya. Orang ini tau betul bagaimana memperindah kata. Buat aku yang jadi penyuka dan penyusunnya, mungkin bisa berharap lebih agar ia dapat memperindahnya.
Hari ini kontras keadaannya dibanding malam lalu. Dahulu, aku yang selalu merindu dan menulis tentang hujan. Akan mulai beranjak dari segala yang tentang lalu, bersama dia yang baru, akan memulai cerita dengan konsep yang baru. Cerita kali ini aku enggan berjanji akan menawarkan kebahagiaan sampai akhir. Karena sewajarnya cerita, akan selalu ada klimaks dan anti klimaksnya. Hanya tergantung kita, bagaimana akan menanggapinya. Ingin terus klimaks? Atau ingin berakhir ditandai anti klimaks.. Ini awal cerita aku dengan orang yang baru. Selebihnya, akan aku tulis cerita – cerita selanjutnya dengan berbagai suasana. Yang jelas, cerita kali ini sedang klimaks suasananya, dengannya. Dan aku sedang bahagia dengan pengindah kata kesayanganku.