Kemarin hari anti klimaks ku. Hujan
turun dan menyadarkan aku lagi, bahwa manusia hakikatnya hidup sendiri.
Hari itu, aku disudahi atas segala
perbuatanku, aku dihukum olehnya karena telah menyia – nyiakanmu dengan segala
ocehanku. “Apa yang kau tanam, itu yang
kau dapati.” Hal itu berlaku kali ini, terhadapku, yang sudah berkali –
kali menyia – nyiakanmu.
Pertengkaran kita, di hari – hari
sebelumnya.. “Sudah terlalu banyak”
katamu. “aku sudah tidak kuat, dan
memendam terlalu lama.” Begitu juga aku, kalau boleh jujur. Kali ini, kita
sepakat untuk menyudahi semua, atas pertengkaran yang telah terjadi, aku
dihakimi karena dihantui rasa bersalahku yang menyebabkan semua ini terjadi.
“Aku
hanya rindu.” pembelaanku.
Tak diterimanya, dia pun lantas berkata “Tidak bisa. Pokoknya sudah tidak bisa lagi”.
Sampai saatnya aku menyerah, dan mengiya-kan segala permohonannya. Kali
ini kita benar – benar sudah selesai.
Tak ada sedikitpun raut muka kecewa
terpasang dari wajah yang sejak lama kucinta. Ya, memang tidak sepantasnya
muncul raut itu. Lagipula, aku belum bertemu dengannya lagi, lalu bagaimana aku
bisa melihat raut apa yang terpasang pada wajahnya? Entahlah biarkan aku bicara
sesukaku kali ini.
Seperti yang kubilang tadi, tidak sepantasnya muncul raut itu. Karena
aku yang sepenuhnya salah. Aku yang tak bisa menahan segala urusan waktu, dan
memutuskan semuanya sekehendak ku.
Karena itu, pergilah..
Aku iya-kan kemauanmu untuk
menyudahi kita, yang notabenenya sudah tak ada lagi kita. Tak perlu kamu bebankan
sendiri, aku yang akan menanggung semuanya sendiri. Kita yang berakhir ini,
semuanya bukan salahmu. Aku yang membuat kita jauh, dan aku juga yang terlalu
lemah dan cepat menyerah, hanya karena dihantam ombak yang namanya keadaan.
Kalau begitu..
Maaf untuk beberapa hari sebelumnya, aku maklumi keputusanmu kali ini.
dan semoga, kita masih bisa kembali seperti dulu; hari – hari dimana sebelum
kita bertengkar pertama kali, maksudku.