Dibalik jendela hujanku. Aku masih diam penuh kata tunggu.
Hujan itu datang lagi.
Lebih besar kini.
Mungkin dia mengerti,
penunggunya sedang rindu.
Rindu dengan suaranya.
Suara candanya yang selalu bisa buat aku tersenyum simpul itu.
Suara hujan itu seakan
mengajak penunggunya masuk lebih dalam kedunia penuh kata tunggu.
Dan aku terlelap dalam
situ.
Aku terlalu nyaman
dengan hujanku.
Kini aku dibalut
selimut dan ditemani susu hangat selagi menulis ini.
Kali ini, muncul satu
pertanyaan dalam hujan kali itu.
“Apa benar, aku harus menunggu?”
Entahlah, aku risau
akan pertanyaan itu.
Aku teguk lagi gelas
demi gelas susu hangatku.
Sekedar memastikan
badan ini tidak terlalu kedinginan.
Sebab sejak seminggu
lalu. Badan ini sudah terlalu dingin karena rindu yang sudah ditelan waktu.
Kamu sudah tidak
perduli bukan? :))
Hari ini hujan itu makin lebat
Hujan itu makin lebat,
diselingi kilat ia menjelaskan pada senja kalau kali ini gilirannya.
Giliran ia yang jadi
penawar rinduku katanya.
Suaranya yang
menerobos tiap sela jendelaku meyakinkan aku kalau dia benar mengatakan itu.
Tapi, aku sudah tidak berhak larut dalam hujan itu.
Dia sudah beda
pemiliknya.
Suaranya pun terkesan
penuh keterpaksaan kali ini.
Itu bukan hujanku.
Hujanku jauh lebih beradab dibanding ini.
Mungkin ini juga tanda
dari semesta.
Bahwasanya kisah kita
memang sudah harus berakhir adanya.
Ditandai hujan yang
makin lebat tiap harinya. Aku sadar kalau kamu memang sudah bukan disini lagi
tempatnya.
Tempatnya sama dia
tepatnya.
0 comments:
Post a Comment